Kamis, 15 November 2012

[Review] The Tokyo Zodiac Murders



Judul: The Tokyo Zodiac Murders
Penulis: Soji Simada
Penerjemah: Barokah Ruziati
Halaman: 354
Penerbit: Gramedia
Terbit: Juli 2012
ISBN: 978-979-22-8591-8


Para pecinta cerita misteri dan serial detektif sudah pasti kenal dengan Sherlock Holmes, Si Detektif Nyentrik asal Inggris. Namanya begitu masyur, mengalahkan ketenaran detektif pendahulunya yang berasal dari Perancis, Monsieur Lecoq. Tapi Jepang pun tak mau ketinggalan. Maka hadirlah Kiyoshi Mitarai, seorang astrolog, peramal nasib, dan detektif—yang juga—eksentrik. Bersama rekannya, Kazumi Ishioka, ia melacak jejak pelaku pembunuhan yang tak terpecahkan selama lebih dari 40 tahun.
***
Kazumi Ishioka kecanduan cerita misteri. Setiap minggu di toko buku, ia akan dengan setia mencari-cari kisah-kisah yang bisa memuaskan kecintaannya pada misteri. Menurutnya, ia sudah membaca nyaris semua cerita misteri yang pernah ditulis. Tapi di antara semua cerita yang pernah dibacanya, ada satu yang paling mengusiknya, yaitu misteri tentang Pembunuhan Zodiak Tokyo.
Diceritakan bahwa pembunuhan tersebut benar-benar terjadi—di Tokyo tahun 1936. Kasusnya berawal dari suatu pagi bersalju ketika seorang seniman bernama Heikichi Umezawa ditemukan tewas di studionya yang terkunci.
Di dalam studio, polisi menemukan dokumen ganjil yang ditulis oleh Sang Seniman mengenai rencananya untuk menciptakan satu wujud perempuan sempurna yang dinamakannya Azoth. Surat itu menyebutkan bahwa Azoth akan diciptakan dari potongan-potongan tubuh 6 orang kerabatnya yang tak lain adalah anak-anak dan para keponakan perempuannya sendiri. Masing-masing bagian tubuh diambil berdasarkan rumus astrologi.
Setelah kematian Heikichi, satu lagi anggota keluarga Umezawa ditemukan tewas di rumahnya. Ia adalah Kazue, anak perempuan Masako (istri kedua Heikichi) dari pernikahan pertama, yang tinggal terpisah dari mereka. Setelah kematian putri tirinya itulah, ide gila yang tertulis dalam surat peninggalan Heikichi menjadi kenyataan.
Seakan sebuah muslihat sedang dilakukan dari dalam kubur, anak-anak perempuan dan para keponakan Heikichi menghilang, dan satu per satu mayat mereka yang termutilasi ditemukan. Pada tiap-tiap mayat, ditemukan satu jenis zat kimia, persis seperti yang diuraikan dalam surat.
Para kerabat dan kenalan korban menjadi tersangka dan alibinya diperiksa. Hingga ditangkaplah Masako Umezawa setelah di dalam kamarnya polisi menemukan tali berkait serta racun yang diyakini sebagai alat untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan tersebut, dan alibinya tidak bisa dibuktikan.
Berdasarkan bukti yang sangat sedikit itu, istri kedua Heikichi diadili, tapi kebenaran kasusnya tetap menjadi misteri karena terdakwa tidak pernah mengakui perbuatan yang dituduhkan padanya, sehingga tidak ada penjelasan mengenai rangkaian kejadian sebenarnya. Oleh karena itu, fakta-fakta mengenai pembunuhan-pembunuhan tersebut dibeberkan kepada publik, dengan harapan ada yang berhasil mengungkap siapa pelaku—atau pelaku-pelaku—pembunuhan sadis tersebut, dan menjawab di mana keberadaan Azoth. Akan tetapi setelah lebih dari 40 tahun, kejadian sesungguhnya tetap menjadi misteri. Khalayak umum mengajukan ratusan teori, tetapi tak ada satupun yang benar-benar memuaskan. Segala kemungkinan yang terpikirkan sudah dibahas, tetapi keberadaan Azoth dan penciptanya tetap menjadi misteri. Belum ada yang berhasil mengungkapnya, termasuk Kazumi Ishioka.
Hingga pada satu hari di tahun 1979—43 tahun setelah kejadian—seorang wanita mendatangi kantor Kiyoshi Mitarai dengan membawa sebuah dokumen. Dokumen yang berupa surat pribadi itu ditulis oleh seorang polisi yang bertugas pada saat pembunuhan-pembunuhan itu terjadi.
Segera setelah mendapatkan informasi itu, bersama-sama Ishioka, Mitarai memulai penyelidikan mereka. Satu per satu fakta mereka bahas. Tiap kemungkinan mereka kemukakan kembali. Mereka menganalisis petunjuk-petunjuk yang ada demi menemukan siapa pelaku sesungguhnya dan di mana Sang Perempuan Sempurna—Azoth—berada.
Penyelidikan membawa mereka ke Kyoto. Mereka menemui orang-orang yang punya hubungan dengan Heikichi. Beberapa hari di Kyoto, penyelidikan menemui jalan buntu seperti para pendahulu mereka. Ishioka mengikuti petunjuk yang salah, dan Mitarai mengaku bingung hingga nyaris frustasi, ketika selembar uang kertas yang diselotip memberikan titik terang bagi Mitarai untuk menyelesaikan kasus itu dengan brilian.
***
Sebagai penggemar kisah-kisah misteri dan detektif, saya sangat menikmati waktu membaca novel ini. Selain ceritanya yang unik, novel ini sarat dengan informasi: satu nilai yang selalu saya cari tiap kali membaca.
Gaya penceritaannya khas Dr. Watson – Sherlock Holmes, sehingga saya yakin bahwa Soji Shimada—Sang Penulis adalah pembaca setia kisah-kisah ciptaan Sir Arthur Conan Doyle itu. Yang tidak bisa saya terima adalah, penghinaannya terhadap Sherlock Holmes. Dalam sebuah percakapan, dikatakan bahwa Sherlock Holmes adalah seorang pria Inggris yang lucu—pembohong, barbar dan pecandu kokain yang selalu keliru membedakan kenyataan dan khayalan. Tapi, meskipun sangat tidak sepakat dengan pendapat itu, saya harus mengakui bahwa Soji Shimada melalui Mitarai berhasil dalam memberikan argumen yang menguatkan pendapat sadisnya. Dan penghinaannya itu sendiri bisa dimaafkan, ketika di akhir cerita Mitarai mengatakan bahwa ia salah telah menjelek-jelekkan Sang Detektif Nyentrik dari Inggris itu. ;)
Tak terlalu banyak quotes yang bisa didapat dari  buku ini. Tapi ada satu bagian yang menurut peresensi menarik dan harus dicantumkan dalam resensi ini:
“Aku tidak merasa aku luar biasa. Kita semua hidup di planet yang sama, kita semua berbagi kesadaran dan emosi yang sama—tetapi apakah itu membuat kita semua sederajat sebagai manusia? Lihat seorang pengusaha dari Tokyo, lihat pria dari Thailand yang menanam padi, lihat para seniman dan para bankir. Tentu saja kita satu kesadaran, tetapi karma kita di masa kini dan masa lalu berbeda. Kita pernah berlutut di makam yang berbeda dan berjalan menyusuri kebun yang berbeda. Hidup kita hanyalah ledakan serbuk bintang, atau awan yang berarak pergi. Aku bukan orang aneh, yang lainlah yang aneh. Aku merasa seakan-akan hidup di Mars. Ketika aku mengamati keberadaan orang lain dan mencoba memahami kehidupan mereka, aku merasa pusing!”
Peresensi harus jujur mengatakan bahwa beberapa humor dalam buku ini terkesan garing. Meskipun begitu, tetap saja bisa membuat senyum-senyum sendiri saat membacanya.
Satu hal menarik lagi dalam buku ini adalah, Penulis menantang pembacanya untuk memecahkan kasusnya lebih dulu dari Mitarai dan Ishioka, karena fakta-fakta yang diketahui oleh mereka juga diberikan kepada pembaca. Saya sendiri, meski berhasil mengetahui siapa pelaku pembunuhannya, tapi karena tidak teliti dan kurang sabar, sebagian analisis saya salah besar dan tidak menjawab beberapa detail yang lain. Maka, kepada mereka yang juga selalu penasaran untuk menjadi detektif, buku ini sangat layak untuk berada di daftar “Harus Baca”. :)
Medan, November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar