Judul: The Tokyo Zodiac Murders
Penulis: Soji Simada
Penerjemah: Barokah Ruziati
Halaman: 354
Penerbit: Gramedia
Terbit: Juli 2012
ISBN: 978-979-22-8591-8
Para pecinta cerita misteri dan serial detektif sudah
pasti kenal dengan Sherlock Holmes, Si Detektif Nyentrik asal Inggris. Namanya
begitu masyur, mengalahkan ketenaran detektif pendahulunya yang berasal dari
Perancis, Monsieur Lecoq. Tapi Jepang pun tak mau ketinggalan. Maka hadirlah
Kiyoshi Mitarai, seorang astrolog, peramal nasib, dan detektif—yang
juga—eksentrik. Bersama rekannya, Kazumi
Ishioka, ia melacak
jejak pelaku pembunuhan yang tak terpecahkan selama lebih dari 40 tahun.
***
Kazumi
Ishioka kecanduan cerita misteri. Setiap minggu di toko buku, ia akan dengan
setia mencari-cari kisah-kisah yang bisa memuaskan kecintaannya pada misteri.
Menurutnya, ia sudah membaca nyaris semua cerita misteri yang pernah ditulis.
Tapi di antara semua cerita yang pernah dibacanya, ada satu yang paling
mengusiknya, yaitu misteri tentang Pembunuhan Zodiak Tokyo.
Diceritakan
bahwa pembunuhan tersebut benar-benar terjadi—di Tokyo tahun 1936. Kasusnya
berawal dari suatu pagi bersalju ketika seorang seniman bernama Heikichi
Umezawa ditemukan tewas di studionya yang terkunci.
Di
dalam studio, polisi menemukan dokumen ganjil yang ditulis oleh Sang Seniman
mengenai rencananya untuk menciptakan satu wujud perempuan sempurna yang
dinamakannya Azoth. Surat
itu menyebutkan bahwa Azoth akan diciptakan dari potongan-potongan tubuh 6
orang kerabatnya yang tak lain adalah anak-anak dan para keponakan perempuannya
sendiri. Masing-masing bagian tubuh diambil berdasarkan rumus astrologi.
Setelah
kematian Heikichi, satu lagi anggota keluarga Umezawa ditemukan tewas di rumahnya.
Ia adalah Kazue, anak perempuan Masako (istri kedua Heikichi) dari pernikahan
pertama, yang tinggal terpisah dari mereka. Setelah kematian putri tirinya
itulah, ide gila yang tertulis dalam surat
peninggalan Heikichi menjadi kenyataan.
Seakan
sebuah muslihat sedang dilakukan dari dalam kubur, anak-anak perempuan dan para
keponakan Heikichi menghilang, dan satu per satu mayat mereka yang termutilasi
ditemukan. Pada tiap-tiap mayat, ditemukan satu jenis zat kimia, persis seperti
yang diuraikan dalam surat.
Para kerabat dan kenalan korban menjadi tersangka dan
alibinya diperiksa. Hingga ditangkaplah Masako Umezawa setelah di dalam
kamarnya polisi menemukan tali berkait serta racun yang diyakini sebagai alat
untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan tersebut, dan alibinya tidak bisa
dibuktikan.
Berdasarkan
bukti yang sangat sedikit itu, istri kedua Heikichi diadili, tapi kebenaran
kasusnya tetap menjadi misteri karena terdakwa tidak pernah mengakui perbuatan
yang dituduhkan padanya, sehingga tidak ada penjelasan mengenai rangkaian
kejadian sebenarnya. Oleh karena itu, fakta-fakta mengenai
pembunuhan-pembunuhan tersebut dibeberkan kepada publik, dengan harapan ada
yang berhasil mengungkap siapa pelaku—atau pelaku-pelaku—pembunuhan sadis
tersebut, dan menjawab di mana keberadaan Azoth. Akan tetapi setelah lebih dari
40 tahun, kejadian sesungguhnya tetap menjadi misteri. Khalayak umum mengajukan
ratusan teori, tetapi tak ada satupun yang benar-benar memuaskan. Segala
kemungkinan yang terpikirkan sudah dibahas, tetapi keberadaan Azoth dan
penciptanya tetap menjadi misteri. Belum ada yang berhasil mengungkapnya,
termasuk Kazumi Ishioka.
Hingga
pada satu hari di tahun 1979—43 tahun setelah kejadian—seorang wanita
mendatangi kantor Kiyoshi Mitarai dengan membawa sebuah dokumen. Dokumen yang
berupa surat
pribadi itu ditulis oleh seorang polisi yang bertugas pada saat
pembunuhan-pembunuhan itu terjadi.
Segera
setelah mendapatkan informasi itu, bersama-sama Ishioka, Mitarai memulai
penyelidikan mereka. Satu per satu fakta mereka bahas. Tiap kemungkinan mereka
kemukakan kembali. Mereka menganalisis petunjuk-petunjuk yang ada demi
menemukan siapa pelaku sesungguhnya dan di mana Sang Perempuan
Sempurna—Azoth—berada.
Penyelidikan
membawa mereka ke Kyoto.
Mereka menemui orang-orang yang punya hubungan dengan Heikichi. Beberapa hari
di Kyoto,
penyelidikan menemui jalan buntu seperti para pendahulu mereka. Ishioka
mengikuti petunjuk yang salah, dan Mitarai mengaku bingung hingga nyaris
frustasi, ketika selembar uang kertas yang diselotip memberikan titik terang
bagi Mitarai untuk menyelesaikan kasus itu dengan brilian.
***
Sebagai
penggemar kisah-kisah misteri dan detektif, saya sangat menikmati waktu membaca
novel ini. Selain ceritanya yang unik, novel ini sarat dengan informasi: satu nilai
yang selalu saya cari tiap kali membaca.
Gaya penceritaannya khas
Dr. Watson – Sherlock Holmes, sehingga saya yakin bahwa Soji Shimada—Sang
Penulis adalah pembaca setia kisah-kisah ciptaan Sir Arthur Conan Doyle itu.
Yang tidak bisa saya terima adalah, penghinaannya terhadap Sherlock Holmes.
Dalam sebuah percakapan, dikatakan bahwa Sherlock Holmes adalah seorang pria
Inggris yang lucu—pembohong, barbar dan pecandu kokain yang selalu keliru
membedakan kenyataan dan khayalan. Tapi, meskipun sangat tidak sepakat dengan
pendapat itu, saya harus mengakui bahwa Soji Shimada melalui Mitarai berhasil
dalam memberikan argumen yang menguatkan pendapat sadisnya. Dan penghinaannya
itu sendiri bisa dimaafkan, ketika di akhir cerita Mitarai mengatakan bahwa ia
salah telah menjelek-jelekkan Sang Detektif Nyentrik dari Inggris itu. ;)
Tak
terlalu banyak quotes yang bisa didapat dari buku ini. Tapi ada
satu bagian yang menurut peresensi menarik dan harus dicantumkan dalam resensi
ini:
“Aku tidak merasa aku luar biasa. Kita semua hidup di planet yang sama, kita semua berbagi kesadaran dan emosi yang sama—tetapi apakah itu membuat kita semua sederajat sebagai manusia? Lihat seorang pengusaha dari Tokyo, lihat pria dari Thailand yang menanam padi, lihat para seniman dan para bankir. Tentu saja kita satu kesadaran, tetapi karma kita di masa kini dan masa lalu berbeda. Kita pernah berlutut di makam yang berbeda dan berjalan menyusuri kebun yang berbeda. Hidup kita hanyalah ledakan serbuk bintang, atau awan yang berarak pergi. Aku bukan orang aneh, yang lainlah yang aneh. Aku merasa seakan-akan hidup di Mars. Ketika aku mengamati keberadaan orang lain dan mencoba memahami kehidupan mereka, aku merasa pusing!”
Peresensi
harus jujur mengatakan bahwa beberapa humor dalam buku ini terkesan garing.
Meskipun begitu, tetap saja bisa membuat senyum-senyum sendiri saat membacanya.
Satu
hal menarik lagi dalam buku ini adalah, Penulis menantang pembacanya untuk
memecahkan kasusnya lebih dulu dari Mitarai dan Ishioka, karena fakta-fakta yang
diketahui oleh mereka juga diberikan kepada pembaca. Saya sendiri, meski
berhasil mengetahui siapa pelaku pembunuhannya, tapi karena tidak teliti dan
kurang sabar, sebagian analisis saya salah besar dan tidak menjawab beberapa
detail yang lain. Maka, kepada mereka yang juga selalu penasaran untuk menjadi
detektif, buku ini sangat layak untuk berada di daftar “Harus Baca”. :)
Medan, November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar