Minggu, 25 November 2012

[Review] Botchan: Kejujuran yang Jenaka






Judul Buku: Botchan
Penulis: Natsume Soseki
Pengantar: Alan Turney
Penerjemah: Indah Santi Pratidina
Halaman: 224
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Februari 2009
ISBN: 978-979-2244-17-5

"Penampilan dan tingkah lakuku mungkin memang tidak terpoles dan cara bicaraku tidak elegan, tapi aku yakin dalam hati, aku manusia yang lebih baik daripada mereka."



Demikianlah salah satu kutipan dalam Botchan—sebuah kejujuran yang diungkapkan dengan sarkasme oleh seorang laki-laki yang menjadi guru di sebuah kota terpencil di Jepang, ketika ia merasa frustasi akan kepura-puraan yang disaksikannya.

***

“Botchan” diartikan sebagai “tuan muda”, merupakan panggilan yang sopan untuk anak laki-laki. Dalam novel ini, tokoh Botchan diceritakan sebagai laki-laki yang memiliki masa kecil yang kurang menyenangkan. Karena sikapnya yang selalu ceroboh dan terus terang, Botchan tidak terlalu disukai oleh orang-orang di sekelilingnya, termasuk kedua orang tuanya. Botchan dinilai selalu membuat masalah dan tidak tahu cara bersikap yang benar. Hanya ada satu orang yang menunjukkan kasih sayang kepadanya, yaitu Kiyo, yang menjadi pelayan keluarganya. Kiyo berpendapat bahwa Botchan adalah anak laki-laki yang berjiwa baik, karena sikapnya yang selalu terus terang dan jujur. Kiyo bahkan menunjukkan kasih sayang yang berlebihan kepada Botchan, dan memiliki impian untuk tinggal bersama Botchan suatu saat nanti. Terbukti, Kiyo bersedia tinggal bersama Botchan dan melayani tanpa digaji, ketika Botchan menjadi yatim piatu dan hanya memiliki warisan yang sangat sedikit. Botchan menggunakan bagian warisannya untuk melanjutkan sekolah.

Setelah lulus dari Universitas Ilmu Fisika di Tokyo, Botchan mendapatkan tawaran untuk menjadi guru matematika di sebuah daerah terpencil bernama Matsuyama, Shikoku. Dengan harapan mendapatkan pengalaman baru, Botchan meninggalkan Tokyo dan Kiyo yang berat hati melepaskannya pergi. Akan tetapi ternyata keadaan di Matsuyama tidak seperti yang dibayangkannya. Di sinilah ceritanya terpusat…

Botchan merasa terkejut melihat perilaku orang-orang di Matsuyama. Botchan melihat bahwa para siswa terlalu nakal, dan rekan-rekannya sesama guru pun bertingkah “aneh”, sehingga menimbulkan rasa tidak suka dalam hatinya. Hanya pada satu orang Botchan merasa cocok, yaitu pada Hotta, rekan sesama guru yang juga mengajar matematika.

Berbagai kejadian yeng mengesalkan Botchan terjadi. Ia dijahili oleh para muridnya karena dianggap aneh dan kaku; salah satu guru yang bernama Koga tiba-tiba dipindahkan tanpa alasan yang jelas; kenakalan murid-murid dimaklumi oleh para guru; hingga kepada tuduhan bahwa Botchan dan Hotta menjadi dalang dari tawuran yang terjadi antara siswa sekolah mereka dengan siswa sekolah lain. Botchan yang lugu menjadi bingung. Ia tidak mengerti siapa yang harus ia percayai.

Kegilaan berlanjut, ketika Botchan mendapat berita Hotta diminta untuk mengundurkan diri, tetapi hal yang sama tidak diminta dari Botchan. Merasa bahwa keputusan sekolah tidak adil, Botchan mengajukan surat pengunduran dirinya. Namun permohonannya ditolak, dengan alasan tidak ada lagi guru yang mengajar matematika kalau Botchan pergi dari sekolah.

Kebingungan semakin meliputi Botchan. Ia merasa gila dengan banyaknya kejadian yang baginya tidak masuk akal. Satu per satu kejadian ia runutkan, mencoba mencari penjelasan atas semua kebingungannya. Ia bersama dengan Hotta memikirkan apa teori yang paling masuk akal. Mereka berdua pun menyusun rencana pembalasan dendam…

***

Botchan merupakan salah satu karya klasik yang paling banyak dibaca di Jepang. Meskipun alurnya datar dan nyaris tanpa klimaks, tapi kejujuran yang diungkapkan di dalamnya patut diacungi jempol. Sementara orang-orang sibuk beradaptasi dengan cara berperilaku seperti lingkungannya, Botchan menunjukkan bahwa sudah semestinya karakter dan kejujuran dipertahankan bagaimanapun sulitnya lingkungan tempatmu berada. Terkesan naïf, memang. Tapi di situlah letak kekuatan Botchan.

Botchan menolak untuk menggadaikan prinsipnya, sekalipun ia berada dalam posisi “kehilangan kehormatan”. Natsume Soseki sepertinya sedang menggambarkan dirinya sendiri dalam sosok Botchan. Sikap keras kepala dan pendirian Botchan yang teguh disebut-sebut sebagai gambaran dirinya sendiri.

Seperti yang disebutkan dalam pengantar buku ini oleh Alan Turney, beberapa humornya sudah ketinggalan zaman. Meskipun begitu, toh saya seringkali terbahak ketika membaca ironi yang disampaikan Botchan. Buku ini juga sarat dengan kutipan-kutipan yang dengan keras menampar pipi. Misalnya saja: “Kalau kau bisa membeli kekaguman seseorang dengan uang, kekuasaan, atau logika, maka lintah darat, polisi, dan profesor universitas akan memiliki lebih banyak pengagum daripada siapapun. Manusia bergerak dari perasaan suka atau tidak suka, bukan melulu logika.

Botchan hanya bercerita. Ia seperti menumpahkan semua kekesalannya, dengan kejujurannya yang jenaka. Dan saya, telah dengan senang hati menyimaknya. :)

***

Sekilas tentang Penulis

Natsume Soseki lahir di Tokyo, 9 Februari 1867. Nama aslinya adalah Natsume Kinnosuke. Ia merupakan novelis Jepang yang ahli Sastra Inggris sekaligus penulis esai. Namanya disejajarkan dengan Mori Ogai, sastrawan besar Zaman Meiji.

Novel Botchan merupakan salah satu karyanya yang paling terkenal pada tahun 1906. Sebelumnya, ia telah menulis Wahagai wa Neko de Aru (I am a Cat) dan Kokoro, dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Natsume Soseki meninggal pada tanggal 9 Desember 1916 akibat tukak lambung. Sejak tahun 1984 hingga 2004, potretnya menjadi gambar di uang kertas pecahan 1.000 Yen.


-- Fisca Ran

Kamis, 15 November 2012

[Review] The Tokyo Zodiac Murders



Judul: The Tokyo Zodiac Murders
Penulis: Soji Simada
Penerjemah: Barokah Ruziati
Halaman: 354
Penerbit: Gramedia
Terbit: Juli 2012
ISBN: 978-979-22-8591-8


Para pecinta cerita misteri dan serial detektif sudah pasti kenal dengan Sherlock Holmes, Si Detektif Nyentrik asal Inggris. Namanya begitu masyur, mengalahkan ketenaran detektif pendahulunya yang berasal dari Perancis, Monsieur Lecoq. Tapi Jepang pun tak mau ketinggalan. Maka hadirlah Kiyoshi Mitarai, seorang astrolog, peramal nasib, dan detektif—yang juga—eksentrik. Bersama rekannya, Kazumi Ishioka, ia melacak jejak pelaku pembunuhan yang tak terpecahkan selama lebih dari 40 tahun.
***
Kazumi Ishioka kecanduan cerita misteri. Setiap minggu di toko buku, ia akan dengan setia mencari-cari kisah-kisah yang bisa memuaskan kecintaannya pada misteri. Menurutnya, ia sudah membaca nyaris semua cerita misteri yang pernah ditulis. Tapi di antara semua cerita yang pernah dibacanya, ada satu yang paling mengusiknya, yaitu misteri tentang Pembunuhan Zodiak Tokyo.
Diceritakan bahwa pembunuhan tersebut benar-benar terjadi—di Tokyo tahun 1936. Kasusnya berawal dari suatu pagi bersalju ketika seorang seniman bernama Heikichi Umezawa ditemukan tewas di studionya yang terkunci.
Di dalam studio, polisi menemukan dokumen ganjil yang ditulis oleh Sang Seniman mengenai rencananya untuk menciptakan satu wujud perempuan sempurna yang dinamakannya Azoth. Surat itu menyebutkan bahwa Azoth akan diciptakan dari potongan-potongan tubuh 6 orang kerabatnya yang tak lain adalah anak-anak dan para keponakan perempuannya sendiri. Masing-masing bagian tubuh diambil berdasarkan rumus astrologi.
Setelah kematian Heikichi, satu lagi anggota keluarga Umezawa ditemukan tewas di rumahnya. Ia adalah Kazue, anak perempuan Masako (istri kedua Heikichi) dari pernikahan pertama, yang tinggal terpisah dari mereka. Setelah kematian putri tirinya itulah, ide gila yang tertulis dalam surat peninggalan Heikichi menjadi kenyataan.
Seakan sebuah muslihat sedang dilakukan dari dalam kubur, anak-anak perempuan dan para keponakan Heikichi menghilang, dan satu per satu mayat mereka yang termutilasi ditemukan. Pada tiap-tiap mayat, ditemukan satu jenis zat kimia, persis seperti yang diuraikan dalam surat.
Para kerabat dan kenalan korban menjadi tersangka dan alibinya diperiksa. Hingga ditangkaplah Masako Umezawa setelah di dalam kamarnya polisi menemukan tali berkait serta racun yang diyakini sebagai alat untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan tersebut, dan alibinya tidak bisa dibuktikan.
Berdasarkan bukti yang sangat sedikit itu, istri kedua Heikichi diadili, tapi kebenaran kasusnya tetap menjadi misteri karena terdakwa tidak pernah mengakui perbuatan yang dituduhkan padanya, sehingga tidak ada penjelasan mengenai rangkaian kejadian sebenarnya. Oleh karena itu, fakta-fakta mengenai pembunuhan-pembunuhan tersebut dibeberkan kepada publik, dengan harapan ada yang berhasil mengungkap siapa pelaku—atau pelaku-pelaku—pembunuhan sadis tersebut, dan menjawab di mana keberadaan Azoth. Akan tetapi setelah lebih dari 40 tahun, kejadian sesungguhnya tetap menjadi misteri. Khalayak umum mengajukan ratusan teori, tetapi tak ada satupun yang benar-benar memuaskan. Segala kemungkinan yang terpikirkan sudah dibahas, tetapi keberadaan Azoth dan penciptanya tetap menjadi misteri. Belum ada yang berhasil mengungkapnya, termasuk Kazumi Ishioka.
Hingga pada satu hari di tahun 1979—43 tahun setelah kejadian—seorang wanita mendatangi kantor Kiyoshi Mitarai dengan membawa sebuah dokumen. Dokumen yang berupa surat pribadi itu ditulis oleh seorang polisi yang bertugas pada saat pembunuhan-pembunuhan itu terjadi.
Segera setelah mendapatkan informasi itu, bersama-sama Ishioka, Mitarai memulai penyelidikan mereka. Satu per satu fakta mereka bahas. Tiap kemungkinan mereka kemukakan kembali. Mereka menganalisis petunjuk-petunjuk yang ada demi menemukan siapa pelaku sesungguhnya dan di mana Sang Perempuan Sempurna—Azoth—berada.
Penyelidikan membawa mereka ke Kyoto. Mereka menemui orang-orang yang punya hubungan dengan Heikichi. Beberapa hari di Kyoto, penyelidikan menemui jalan buntu seperti para pendahulu mereka. Ishioka mengikuti petunjuk yang salah, dan Mitarai mengaku bingung hingga nyaris frustasi, ketika selembar uang kertas yang diselotip memberikan titik terang bagi Mitarai untuk menyelesaikan kasus itu dengan brilian.
***
Sebagai penggemar kisah-kisah misteri dan detektif, saya sangat menikmati waktu membaca novel ini. Selain ceritanya yang unik, novel ini sarat dengan informasi: satu nilai yang selalu saya cari tiap kali membaca.
Gaya penceritaannya khas Dr. Watson – Sherlock Holmes, sehingga saya yakin bahwa Soji Shimada—Sang Penulis adalah pembaca setia kisah-kisah ciptaan Sir Arthur Conan Doyle itu. Yang tidak bisa saya terima adalah, penghinaannya terhadap Sherlock Holmes. Dalam sebuah percakapan, dikatakan bahwa Sherlock Holmes adalah seorang pria Inggris yang lucu—pembohong, barbar dan pecandu kokain yang selalu keliru membedakan kenyataan dan khayalan. Tapi, meskipun sangat tidak sepakat dengan pendapat itu, saya harus mengakui bahwa Soji Shimada melalui Mitarai berhasil dalam memberikan argumen yang menguatkan pendapat sadisnya. Dan penghinaannya itu sendiri bisa dimaafkan, ketika di akhir cerita Mitarai mengatakan bahwa ia salah telah menjelek-jelekkan Sang Detektif Nyentrik dari Inggris itu. ;)
Tak terlalu banyak quotes yang bisa didapat dari  buku ini. Tapi ada satu bagian yang menurut peresensi menarik dan harus dicantumkan dalam resensi ini:
“Aku tidak merasa aku luar biasa. Kita semua hidup di planet yang sama, kita semua berbagi kesadaran dan emosi yang sama—tetapi apakah itu membuat kita semua sederajat sebagai manusia? Lihat seorang pengusaha dari Tokyo, lihat pria dari Thailand yang menanam padi, lihat para seniman dan para bankir. Tentu saja kita satu kesadaran, tetapi karma kita di masa kini dan masa lalu berbeda. Kita pernah berlutut di makam yang berbeda dan berjalan menyusuri kebun yang berbeda. Hidup kita hanyalah ledakan serbuk bintang, atau awan yang berarak pergi. Aku bukan orang aneh, yang lainlah yang aneh. Aku merasa seakan-akan hidup di Mars. Ketika aku mengamati keberadaan orang lain dan mencoba memahami kehidupan mereka, aku merasa pusing!”
Peresensi harus jujur mengatakan bahwa beberapa humor dalam buku ini terkesan garing. Meskipun begitu, tetap saja bisa membuat senyum-senyum sendiri saat membacanya.
Satu hal menarik lagi dalam buku ini adalah, Penulis menantang pembacanya untuk memecahkan kasusnya lebih dulu dari Mitarai dan Ishioka, karena fakta-fakta yang diketahui oleh mereka juga diberikan kepada pembaca. Saya sendiri, meski berhasil mengetahui siapa pelaku pembunuhannya, tapi karena tidak teliti dan kurang sabar, sebagian analisis saya salah besar dan tidak menjawab beberapa detail yang lain. Maka, kepada mereka yang juga selalu penasaran untuk menjadi detektif, buku ini sangat layak untuk berada di daftar “Harus Baca”. :)
Medan, November 2012